Setelah sholat, hampir selalu ada
saja pikiran-pikiran yang membayang. Kali ini pikiran melayang pada topik
tentang "proses belajar". Saya teringat pada salah satu kegiatan rutin
saya di Surabaya sebelum berangkat ke Autralia. Saya teringat proses belajar
yang lakukan bersama mereka dan membangun mental penghargaan pada “proses
belajar”. Selain kegiatan belajar di organisasi Educare, saya mempersilakan anak-anak kecil kampung
sebelah yang sering main di lapangan depan rumah untuk ikut belajar gratis di
tempat tinggal saya di Surabaya. Mereka
saat itu berumur sekitar 7-12 tahun dan masih kelas satu Sekolah Dasar
(SD).
Saat paling berkesan untuk saya
adalah ketika salah satu dari 10 anak yang belajar di kelas jam kedua setelah anak
kelas 6. Mereka paling sering mencuri hati saya dan membuat saya gemas dengan
keanehan-anehan seru yang mereka ciptakan untuk saya. Salah satu yang sangat
berkesan dari mereka adalah ketika beberapa hari pasca awal kelas gratis baru
dimulai.
Sekilas saya ceritakan, bahwa kelas
belajar itu untuk bermain dan belajar sekaligus belajar yang serunya seperti
bermain. Anak-anak itu semangat dating bukan datang untuk belajar, mereka
datang untuk bermain dengan saya. Ya walaupun orangtua mereka selalu bilang “les”
dan belajar, tapi sebenarnya mereka bermain yang penuh pelajaran. Hehehe
Intinya, saya mengajak mereka bermain sambil belajar dan belajar sambil
bermain. Cara saya yang sebenarnya adalah metode belajar yang seperti bermain
padahal saya masukkan ke pikiran mereka tanpa mereka sadari. Mereka senang, tak
perlu dapat nilai, tidak perlu minder, hanya perlu bermain jujur dan mengikuti
aturan main di tempat belajar gratis di rumah saya.
Saya pernah bilang ke mereka “Anak
baik pasti bersikap baik dan tidak menyakit hati oranglain”. Saya menunjukkan
ketidaksukaan saya pada anak yang suka mengolok-olok temannya. Mereka pun
sedikit banyak terpengaruh dan mulai ajaib bersikap baik dibanding pertama kali
saya bertemu dengan mereka. Mereka yang sebelumnya kasar, pukul pukulan, ejek
mengejek, bicara kotor “misuh”, dll. Pastinya mirislah sejak dulu ternyata
masih menjamur dan tak pernah hilang virus penyakit itu. Terpenting proses
belajar menjadi anak yang lebih mengerti dan baik pada temannya sudah mulai
muncul.
Oke, cerita saya mengarah pada salah
seorang dari anak-anak tadi. Teman-temannya bilang dia anak yang nakal dan
kasar. Memang sedikit kelihatan kasar dengan badannya yang kekar, kulit
kecoklatan dan berotot kuat, tapi dia jujur, dan lembut pada saya bahkan manja seperti
pada kakaknya sendiri. Ada awal cerita sebelum akhirnya dia menjadi akrab dan
suka curhat pada saya.
Suatu hari saat kegiatan belajar
awal-awal dimulai, dia menyembunyikan buku tulisnya. Nampaknya dia tidak mau
menunjukkan nilainya dari sekolah pada siapapun. Saat itu, dia pun tidak mau
menunjukkannya pada saya. Tapi saya pun pura-pura tidak penasaran dengan
bersikap serius mendengarkan celotehnya yang panjang. Tak lama saya pun mulai bercerita pada
anak-anak disana sambil melirik anak tadi yang duduk menempel pada saya. Saya
bercerita sesuatu sambil menyelipkan suatu kalimat penting pada mereka.
"Mbak Onish tu paling seneng sama anak yang semangat belajar dan jujur
walau nilainya jelek. Yang paling penting adalah selalu berusaha dan jujur".
Saya pertegas lagi. "Belajar itu dari yang gak bisa jadi bisa, dari yang
jelek jadi baik, dan yang baik jadi semakin baik". Kalimat itu ternyata
ampuh, anak-anak mulai mendekat lagi pada saya dan mulai semakin bersemangat
untuk belajar.
Tiba-tiba anak bertubuh kekar tadi
tiba-tiba menunjukkan nilai-nilai di buku matematika miliknya yang dari tadi
dia tutupi. Tampak nilai 20 di lembar pertama. Selanjutnya 30, 50 dan kembali
30 serta angka lain yang mengecewakan untuk yang melihatnya. Saya tanya
"ini ngerjakan sendiri semua kah sayang?" dengan lembut saya mencoba
mengintrogasinya. Awalnya anak itu mau berbohong tapi lekas-lekas dia sendiri
mencoba meralatnya. "Kerja sendr,… eh ada yang nyontek, tapi ada yang
ngerjain sendiri". Sambil meringgis menunjukkan rasa malunya.
Teman-temannya sudah tidak ada yang
mengejek dengan nilai anak itu, tentu saja karena saya telah bilang bahwa saya
tidak suka dengan sikap anak yang menyakiti hati anak lain. Semua harus saling
mendukung dan menyemangati temannya untuk semangat belajar. Hasilnya saat
moment itu, semua anak menahan untuk tidak mengejek. Bahkan mereka banyak
menceletuk “Wah kok jujur kamu?” Lalu ada yang lain juga mengomentari “Yang
penting jujur ya mbak Onish?” Anak perempuan tomboy pun menimpali “Lho kan
bener harus jujur ya mbak Onish?”
Segera saya ikut menanggapinya
"Wah keren deh udah berani cerita jujur ke mbak Onish. Hebat. Mbak seneng
deh". Anak itu pun makin heboh menunjukkan nilai-nilanya mana saja yang
contekan dan mana yang dia kerjakan sendiri. Penuh semangat. Tiba-tiba dia
bertanya "Harus jujur ya mbak?". Saya memandangnya tajam dan
tersenyum sambil menjawabnya dengan mantap. "Iya. Sangat baik kalau jujur dan
berusaha". Dia pun tersenyum lalu meminta diajari cara mengerjakan soal
yang dia dapat angka jelek.
Ternyata semua anak pun minta
untuk mengerjakan soal yang mereka dapat nilai jelek. Penjelasan yang penuh
semangat dan keceriaan saya membuat mereka ikut bersemangat. Mereka bergegas
mengerjakan soal-soal dari sekolah tadi. Sejenis remidi atau mengerjakan ulang.
Sebelumnya, saya sempat memberi sedikit penjelasan pada mereka dengan memahamkan
dan menganalogikan menggunakan mainan atau cara tertentu yang mereka senang dan
sederhana.
Setiap anak mengumpulkan hasilnya
pada saya satu persatu dengan mengetahui mana soal yang masih salah. Mereka
meminta nilai angka pada saya. Mereka bilang biar kayak di sekolah. Saya pun
menjawab dengan senyum dan hanya bilang “Benarkan dulu jawaban yang masih belum
pas, nanti baru dapat nilainya”. Mereka pun satu persatu mengerjakan lagi
hingga benar semua.
Saat semua sudah benar, salah satu
anak yang paling dahulu menyelesaikan dengan jawaban benar mendapat nilai
pertama dari saya. Saya beri nilai “gambar Jempol”. Dia pun tertawa dan bilang,
“Mbak Onish bisa nggambar jempol. Bagus. Asyik aku dapat jempol”. Dia melonjak
kegirangan dan menarik perhatian semua anak yang kemudian mengerumuni melihat
gambar jempol yang saya berikan pada lembar anak tadi.
Mereka tertawa dan segera kembali ke
soal masing-masing karena tertantang untuk segera dapat jempol dari saya. Layaknya
olimpiade atau lomba cerdas cermat, mereka berlomba untuk segera cepat bisa
menjawab dengan tepat soal di depan mereka. Saking semangatnya, mereka yang
awal datang sering merasa terganggu dengan anak-anak lain di taman luar pun
mulai tak memperdulikan lagi anak-anak nakal yang berlalu lalang mencoba
memanggil dan mengganggu mereka. Proses belajar hari itu cukup memuaskan dan
mereka meminta nanti malamnya untuk belajar di rumah saya lagi. Buru-buru saya
mengatakan bahwa malam hari jadwal saya untuk belajar. Mereka pun paham dan
memastikan besok saya siap mereka datangi lagi. Kegiatan belajar dan bermain
pun berjalan dan makin meluas hingga saat saya harus membubarkannya karena
berangkat ke Australia.
Cara apresiasi dengan jempol yang
saya lakukan itu membuat anak-anak lebih percaya diri. Tampak sekali perubahan
ekspresi dan semangat belajar mereka. Semua sudah mengerjakan, sudah belajar,
sudah bermain, sudah mengerti letak kesalahan dalam mengerjakan soal, sudah
lebih semangat belajar, sudah lebih baik dalam bersikap dan lebih jujur. Proses
yang kemudian mereka ingat ketika bertemu dengan saya, bahwa beberapa hal itu
tadi adalah prinsip kalau belajar di rumah mbak Onish.
Selama proses hingga sebelum pulang,
saya pastikan saya tidak memberi nilai angka kepada mereka. Saya upayakan agar
mereka tidak perlu melihat angka yang memalukan atau menakutkan untuk mengukur
hasil belajar mereka yang tentu belum bagus karena baru belajar. Saya memberi
jempol pada mereka karena mereka memang patut diapresiasi karena telah berusaha
mengerjakan dan terus menyempurnakan jawaban hingga mendapat jawaban yang
tepat. Proses belajar itulah yang paling saya jadikan prinsip penting dalam
belajar yang saya lakukan ataupun menemani anak-anak kecil belajar.
Masa itu tak kan terlupakan untuk saya
pribadi. Saya mengajar sambil belajar dan terus berusaha untuk mengapresiasi
anak-anak dengan cara yang lebih baik. Bukan dari hal materi, bukan sembarang
mengumbar pujian, tapi apresiasi sesuai yang mereka butuhkan saat usia-usia
pembentukan pribadi mereka. Apresiasi untuk memotivasi belajar.
Salam Pembelajar
Onish Akhsani