Minggu, 16 Desember 2012

Makna Nilai Jempol



Setelah sholat, hampir selalu ada saja pikiran-pikiran yang membayang. Kali ini pikiran melayang pada topik tentang "proses belajar". Saya teringat pada salah satu kegiatan rutin saya di Surabaya sebelum berangkat ke Autralia. Saya teringat proses belajar yang lakukan bersama mereka dan membangun mental penghargaan pada “proses belajar”. Selain kegiatan belajar di organisasi Educare,  saya mempersilakan anak-anak kecil kampung sebelah yang sering main di lapangan depan rumah untuk ikut belajar gratis di tempat tinggal saya di Surabaya. Mereka  saat itu berumur sekitar 7-12 tahun dan masih kelas satu Sekolah Dasar (SD).
Saat paling berkesan untuk saya adalah ketika salah satu dari 10 anak yang belajar di kelas jam kedua setelah anak kelas 6. Mereka paling sering mencuri hati saya dan membuat saya gemas dengan keanehan-anehan seru yang mereka ciptakan untuk saya. Salah satu yang sangat berkesan dari mereka adalah ketika beberapa hari pasca awal kelas gratis baru dimulai.
Sekilas saya ceritakan, bahwa kelas belajar itu untuk bermain dan belajar sekaligus belajar yang serunya seperti bermain. Anak-anak itu semangat dating bukan datang untuk belajar, mereka datang untuk bermain dengan saya. Ya walaupun orangtua mereka selalu bilang “les” dan belajar, tapi sebenarnya mereka bermain yang penuh pelajaran. Hehehe Intinya, saya mengajak mereka bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Cara saya yang sebenarnya adalah metode belajar yang seperti bermain padahal saya masukkan ke pikiran mereka tanpa mereka sadari. Mereka senang, tak perlu dapat nilai, tidak perlu minder, hanya perlu bermain jujur dan mengikuti aturan main di tempat belajar gratis di rumah saya.
Saya pernah bilang ke mereka “Anak baik pasti bersikap baik dan tidak menyakit hati oranglain”. Saya menunjukkan ketidaksukaan saya pada anak yang suka mengolok-olok temannya. Mereka pun sedikit banyak terpengaruh dan mulai ajaib bersikap baik dibanding pertama kali saya bertemu dengan mereka. Mereka yang sebelumnya kasar, pukul pukulan, ejek mengejek, bicara kotor “misuh”, dll. Pastinya mirislah sejak dulu ternyata masih menjamur dan tak pernah hilang virus penyakit itu. Terpenting proses belajar menjadi anak yang lebih mengerti dan baik pada temannya sudah mulai muncul.
Oke, cerita saya mengarah pada salah seorang dari anak-anak tadi. Teman-temannya bilang dia anak yang nakal dan kasar. Memang sedikit kelihatan kasar dengan badannya yang kekar, kulit kecoklatan dan berotot kuat, tapi dia jujur, dan lembut pada saya bahkan manja seperti pada kakaknya sendiri. Ada awal cerita sebelum akhirnya dia menjadi akrab dan suka curhat pada saya.
Suatu hari saat kegiatan belajar awal-awal dimulai, dia menyembunyikan buku tulisnya. Nampaknya dia tidak mau menunjukkan nilainya dari sekolah pada siapapun. Saat itu, dia pun tidak mau menunjukkannya pada saya. Tapi saya pun pura-pura tidak penasaran dengan bersikap serius mendengarkan celotehnya yang panjang.  Tak lama saya pun mulai bercerita pada anak-anak disana sambil melirik anak tadi yang duduk menempel pada saya. Saya bercerita sesuatu sambil menyelipkan suatu kalimat penting pada mereka. "Mbak Onish tu paling seneng sama anak yang semangat belajar dan jujur walau nilainya jelek. Yang paling penting adalah selalu berusaha dan jujur". Saya pertegas lagi. "Belajar itu dari yang gak bisa jadi bisa, dari yang jelek jadi baik, dan yang baik jadi semakin baik". Kalimat itu ternyata ampuh, anak-anak mulai mendekat lagi pada saya dan mulai semakin bersemangat untuk belajar.
Tiba-tiba anak bertubuh kekar tadi tiba-tiba menunjukkan nilai-nilai di buku matematika miliknya yang dari tadi dia tutupi. Tampak nilai 20 di lembar pertama. Selanjutnya 30, 50 dan kembali 30 serta angka lain yang mengecewakan untuk yang melihatnya. Saya tanya "ini ngerjakan sendiri semua kah sayang?" dengan lembut saya mencoba mengintrogasinya. Awalnya anak itu mau berbohong tapi lekas-lekas dia sendiri mencoba meralatnya. "Kerja sendr,… eh ada yang nyontek, tapi ada yang ngerjain sendiri". Sambil meringgis menunjukkan rasa malunya.
Teman-temannya sudah tidak ada yang mengejek dengan nilai anak itu, tentu saja karena saya telah bilang bahwa saya tidak suka dengan sikap anak yang menyakiti hati anak lain. Semua harus saling mendukung dan menyemangati temannya untuk semangat belajar. Hasilnya saat moment itu, semua anak menahan untuk tidak mengejek. Bahkan mereka banyak menceletuk “Wah kok jujur kamu?” Lalu ada yang lain juga mengomentari “Yang penting jujur ya mbak Onish?” Anak perempuan tomboy pun menimpali “Lho kan bener harus jujur ya mbak Onish?”
Segera saya ikut menanggapinya "Wah keren deh udah berani cerita jujur ke mbak Onish. Hebat. Mbak seneng deh". Anak itu pun makin heboh menunjukkan nilai-nilanya mana saja yang contekan dan mana yang dia kerjakan sendiri. Penuh semangat. Tiba-tiba dia bertanya "Harus jujur ya mbak?". Saya memandangnya tajam dan tersenyum sambil menjawabnya dengan mantap. "Iya. Sangat baik kalau jujur dan berusaha". Dia pun tersenyum lalu meminta diajari cara mengerjakan soal yang dia dapat angka jelek.
 Ternyata semua anak pun minta untuk mengerjakan soal yang mereka dapat nilai jelek. Penjelasan yang penuh semangat dan keceriaan saya membuat mereka ikut bersemangat. Mereka bergegas mengerjakan soal-soal dari sekolah tadi. Sejenis remidi atau mengerjakan ulang. Sebelumnya, saya sempat memberi sedikit penjelasan pada mereka dengan memahamkan dan menganalogikan menggunakan mainan atau cara tertentu yang mereka senang dan sederhana.
Setiap anak mengumpulkan hasilnya pada saya satu persatu dengan mengetahui mana soal yang masih salah. Mereka meminta nilai angka pada saya. Mereka bilang biar kayak di sekolah. Saya pun menjawab dengan senyum dan hanya bilang “Benarkan dulu jawaban yang masih belum pas, nanti baru dapat nilainya”. Mereka pun satu persatu mengerjakan lagi hingga benar semua.
Saat semua sudah benar, salah satu anak yang paling dahulu menyelesaikan dengan jawaban benar mendapat nilai pertama dari saya. Saya beri nilai “gambar Jempol”. Dia pun tertawa dan bilang, “Mbak Onish bisa nggambar jempol. Bagus. Asyik aku dapat jempol”. Dia melonjak kegirangan dan menarik perhatian semua anak yang kemudian mengerumuni melihat gambar jempol yang saya berikan pada lembar anak tadi.
Mereka tertawa dan segera kembali ke soal masing-masing karena tertantang untuk segera dapat jempol dari saya. Layaknya olimpiade atau lomba cerdas cermat, mereka berlomba untuk segera cepat bisa menjawab dengan tepat soal di depan mereka. Saking semangatnya, mereka yang awal datang sering merasa terganggu dengan anak-anak lain di taman luar pun mulai tak memperdulikan lagi anak-anak nakal yang berlalu lalang mencoba memanggil dan mengganggu mereka. Proses belajar hari itu cukup memuaskan dan mereka meminta nanti malamnya untuk belajar di rumah saya lagi. Buru-buru saya mengatakan bahwa malam hari jadwal saya untuk belajar. Mereka pun paham dan memastikan besok saya siap mereka datangi lagi. Kegiatan belajar dan bermain pun berjalan dan makin meluas hingga saat saya harus membubarkannya karena berangkat ke Australia.
Cara apresiasi dengan jempol yang saya lakukan itu membuat anak-anak lebih percaya diri. Tampak sekali perubahan ekspresi dan semangat belajar mereka. Semua sudah mengerjakan, sudah belajar, sudah bermain, sudah mengerti letak kesalahan dalam mengerjakan soal, sudah lebih semangat belajar, sudah lebih baik dalam bersikap dan lebih jujur. Proses yang kemudian mereka ingat ketika bertemu dengan saya, bahwa beberapa hal itu tadi adalah prinsip kalau belajar di rumah mbak Onish.
Selama proses hingga sebelum pulang, saya pastikan saya tidak memberi nilai angka kepada mereka. Saya upayakan agar mereka tidak perlu melihat angka yang memalukan atau menakutkan untuk mengukur hasil belajar mereka yang tentu belum bagus karena baru belajar. Saya memberi jempol pada mereka karena mereka memang patut diapresiasi karena telah berusaha mengerjakan dan terus menyempurnakan jawaban hingga mendapat jawaban yang tepat. Proses belajar itulah yang paling saya jadikan prinsip penting dalam belajar yang saya lakukan ataupun menemani anak-anak kecil belajar.
 Masa itu tak kan terlupakan untuk saya pribadi. Saya mengajar sambil belajar dan terus berusaha untuk mengapresiasi anak-anak dengan cara yang lebih baik. Bukan dari hal materi, bukan sembarang mengumbar pujian, tapi apresiasi sesuai yang mereka butuhkan saat usia-usia pembentukan pribadi mereka. Apresiasi untuk memotivasi belajar.



Salam Pembelajar

Onish Akhsani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar