Minggu, 16 Desember 2012

Makna Nilai Jempol



Setelah sholat, hampir selalu ada saja pikiran-pikiran yang membayang. Kali ini pikiran melayang pada topik tentang "proses belajar". Saya teringat pada salah satu kegiatan rutin saya di Surabaya sebelum berangkat ke Autralia. Saya teringat proses belajar yang lakukan bersama mereka dan membangun mental penghargaan pada “proses belajar”. Selain kegiatan belajar di organisasi Educare,  saya mempersilakan anak-anak kecil kampung sebelah yang sering main di lapangan depan rumah untuk ikut belajar gratis di tempat tinggal saya di Surabaya. Mereka  saat itu berumur sekitar 7-12 tahun dan masih kelas satu Sekolah Dasar (SD).
Saat paling berkesan untuk saya adalah ketika salah satu dari 10 anak yang belajar di kelas jam kedua setelah anak kelas 6. Mereka paling sering mencuri hati saya dan membuat saya gemas dengan keanehan-anehan seru yang mereka ciptakan untuk saya. Salah satu yang sangat berkesan dari mereka adalah ketika beberapa hari pasca awal kelas gratis baru dimulai.
Sekilas saya ceritakan, bahwa kelas belajar itu untuk bermain dan belajar sekaligus belajar yang serunya seperti bermain. Anak-anak itu semangat dating bukan datang untuk belajar, mereka datang untuk bermain dengan saya. Ya walaupun orangtua mereka selalu bilang “les” dan belajar, tapi sebenarnya mereka bermain yang penuh pelajaran. Hehehe Intinya, saya mengajak mereka bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Cara saya yang sebenarnya adalah metode belajar yang seperti bermain padahal saya masukkan ke pikiran mereka tanpa mereka sadari. Mereka senang, tak perlu dapat nilai, tidak perlu minder, hanya perlu bermain jujur dan mengikuti aturan main di tempat belajar gratis di rumah saya.
Saya pernah bilang ke mereka “Anak baik pasti bersikap baik dan tidak menyakit hati oranglain”. Saya menunjukkan ketidaksukaan saya pada anak yang suka mengolok-olok temannya. Mereka pun sedikit banyak terpengaruh dan mulai ajaib bersikap baik dibanding pertama kali saya bertemu dengan mereka. Mereka yang sebelumnya kasar, pukul pukulan, ejek mengejek, bicara kotor “misuh”, dll. Pastinya mirislah sejak dulu ternyata masih menjamur dan tak pernah hilang virus penyakit itu. Terpenting proses belajar menjadi anak yang lebih mengerti dan baik pada temannya sudah mulai muncul.
Oke, cerita saya mengarah pada salah seorang dari anak-anak tadi. Teman-temannya bilang dia anak yang nakal dan kasar. Memang sedikit kelihatan kasar dengan badannya yang kekar, kulit kecoklatan dan berotot kuat, tapi dia jujur, dan lembut pada saya bahkan manja seperti pada kakaknya sendiri. Ada awal cerita sebelum akhirnya dia menjadi akrab dan suka curhat pada saya.
Suatu hari saat kegiatan belajar awal-awal dimulai, dia menyembunyikan buku tulisnya. Nampaknya dia tidak mau menunjukkan nilainya dari sekolah pada siapapun. Saat itu, dia pun tidak mau menunjukkannya pada saya. Tapi saya pun pura-pura tidak penasaran dengan bersikap serius mendengarkan celotehnya yang panjang.  Tak lama saya pun mulai bercerita pada anak-anak disana sambil melirik anak tadi yang duduk menempel pada saya. Saya bercerita sesuatu sambil menyelipkan suatu kalimat penting pada mereka. "Mbak Onish tu paling seneng sama anak yang semangat belajar dan jujur walau nilainya jelek. Yang paling penting adalah selalu berusaha dan jujur". Saya pertegas lagi. "Belajar itu dari yang gak bisa jadi bisa, dari yang jelek jadi baik, dan yang baik jadi semakin baik". Kalimat itu ternyata ampuh, anak-anak mulai mendekat lagi pada saya dan mulai semakin bersemangat untuk belajar.
Tiba-tiba anak bertubuh kekar tadi tiba-tiba menunjukkan nilai-nilai di buku matematika miliknya yang dari tadi dia tutupi. Tampak nilai 20 di lembar pertama. Selanjutnya 30, 50 dan kembali 30 serta angka lain yang mengecewakan untuk yang melihatnya. Saya tanya "ini ngerjakan sendiri semua kah sayang?" dengan lembut saya mencoba mengintrogasinya. Awalnya anak itu mau berbohong tapi lekas-lekas dia sendiri mencoba meralatnya. "Kerja sendr,… eh ada yang nyontek, tapi ada yang ngerjain sendiri". Sambil meringgis menunjukkan rasa malunya.
Teman-temannya sudah tidak ada yang mengejek dengan nilai anak itu, tentu saja karena saya telah bilang bahwa saya tidak suka dengan sikap anak yang menyakiti hati anak lain. Semua harus saling mendukung dan menyemangati temannya untuk semangat belajar. Hasilnya saat moment itu, semua anak menahan untuk tidak mengejek. Bahkan mereka banyak menceletuk “Wah kok jujur kamu?” Lalu ada yang lain juga mengomentari “Yang penting jujur ya mbak Onish?” Anak perempuan tomboy pun menimpali “Lho kan bener harus jujur ya mbak Onish?”
Segera saya ikut menanggapinya "Wah keren deh udah berani cerita jujur ke mbak Onish. Hebat. Mbak seneng deh". Anak itu pun makin heboh menunjukkan nilai-nilanya mana saja yang contekan dan mana yang dia kerjakan sendiri. Penuh semangat. Tiba-tiba dia bertanya "Harus jujur ya mbak?". Saya memandangnya tajam dan tersenyum sambil menjawabnya dengan mantap. "Iya. Sangat baik kalau jujur dan berusaha". Dia pun tersenyum lalu meminta diajari cara mengerjakan soal yang dia dapat angka jelek.
 Ternyata semua anak pun minta untuk mengerjakan soal yang mereka dapat nilai jelek. Penjelasan yang penuh semangat dan keceriaan saya membuat mereka ikut bersemangat. Mereka bergegas mengerjakan soal-soal dari sekolah tadi. Sejenis remidi atau mengerjakan ulang. Sebelumnya, saya sempat memberi sedikit penjelasan pada mereka dengan memahamkan dan menganalogikan menggunakan mainan atau cara tertentu yang mereka senang dan sederhana.
Setiap anak mengumpulkan hasilnya pada saya satu persatu dengan mengetahui mana soal yang masih salah. Mereka meminta nilai angka pada saya. Mereka bilang biar kayak di sekolah. Saya pun menjawab dengan senyum dan hanya bilang “Benarkan dulu jawaban yang masih belum pas, nanti baru dapat nilainya”. Mereka pun satu persatu mengerjakan lagi hingga benar semua.
Saat semua sudah benar, salah satu anak yang paling dahulu menyelesaikan dengan jawaban benar mendapat nilai pertama dari saya. Saya beri nilai “gambar Jempol”. Dia pun tertawa dan bilang, “Mbak Onish bisa nggambar jempol. Bagus. Asyik aku dapat jempol”. Dia melonjak kegirangan dan menarik perhatian semua anak yang kemudian mengerumuni melihat gambar jempol yang saya berikan pada lembar anak tadi.
Mereka tertawa dan segera kembali ke soal masing-masing karena tertantang untuk segera dapat jempol dari saya. Layaknya olimpiade atau lomba cerdas cermat, mereka berlomba untuk segera cepat bisa menjawab dengan tepat soal di depan mereka. Saking semangatnya, mereka yang awal datang sering merasa terganggu dengan anak-anak lain di taman luar pun mulai tak memperdulikan lagi anak-anak nakal yang berlalu lalang mencoba memanggil dan mengganggu mereka. Proses belajar hari itu cukup memuaskan dan mereka meminta nanti malamnya untuk belajar di rumah saya lagi. Buru-buru saya mengatakan bahwa malam hari jadwal saya untuk belajar. Mereka pun paham dan memastikan besok saya siap mereka datangi lagi. Kegiatan belajar dan bermain pun berjalan dan makin meluas hingga saat saya harus membubarkannya karena berangkat ke Australia.
Cara apresiasi dengan jempol yang saya lakukan itu membuat anak-anak lebih percaya diri. Tampak sekali perubahan ekspresi dan semangat belajar mereka. Semua sudah mengerjakan, sudah belajar, sudah bermain, sudah mengerti letak kesalahan dalam mengerjakan soal, sudah lebih semangat belajar, sudah lebih baik dalam bersikap dan lebih jujur. Proses yang kemudian mereka ingat ketika bertemu dengan saya, bahwa beberapa hal itu tadi adalah prinsip kalau belajar di rumah mbak Onish.
Selama proses hingga sebelum pulang, saya pastikan saya tidak memberi nilai angka kepada mereka. Saya upayakan agar mereka tidak perlu melihat angka yang memalukan atau menakutkan untuk mengukur hasil belajar mereka yang tentu belum bagus karena baru belajar. Saya memberi jempol pada mereka karena mereka memang patut diapresiasi karena telah berusaha mengerjakan dan terus menyempurnakan jawaban hingga mendapat jawaban yang tepat. Proses belajar itulah yang paling saya jadikan prinsip penting dalam belajar yang saya lakukan ataupun menemani anak-anak kecil belajar.
 Masa itu tak kan terlupakan untuk saya pribadi. Saya mengajar sambil belajar dan terus berusaha untuk mengapresiasi anak-anak dengan cara yang lebih baik. Bukan dari hal materi, bukan sembarang mengumbar pujian, tapi apresiasi sesuai yang mereka butuhkan saat usia-usia pembentukan pribadi mereka. Apresiasi untuk memotivasi belajar.



Salam Pembelajar

Onish Akhsani

Sabtu, 15 Desember 2012

Renung hati



Pagi ini setelah subuh, banyak ide liar bermain-main di otak ini.
Rentetasn bait pun terngiang.

Aq tak merasa apa-apa.
Pikiran pun bermain-main.
Tiba-tiba hilang rasa dan menangis.

Ada banyak tanya dalam hatiku.
Satu demi satu terjawab tanpa ada ragu.

Semakin bertanya, smakin ingin tahu.
Waktupun hanya fokus belajar selalu.

Tiba-tiba soal yang lain datang.
Termenung mencoba tenang.

Untuk apa ilmu?
Demi status ataukah kemanfaatan umum?
Untuk apa target pencapaian?
Demi kearoganan ataukah arah juang dalam berkehidupan?
Untuk apa kekayaan?
Demi kepuasaan ataukah penompang prinsip hidup?
Untuk apa kemampuan?
Demi ke-aku-an ataukah pendukung kemanfaatan?

Heran hati ini.
Kenapa harus menulis kalau untuk mereka?
Mereka tak akan mengerti.
Kenapa harus berkata, mereka tak suka membaca.
Peduli apa dengan mereka.
Kehidupan adalah peran.
Tak perlu merasa lebih dari lainnya,
Tak boleh punya kedirian atas segala yang ada.

Benar sadar hati merindu,
Ingin Dia ada di sini slalu.
Sapa hangatnya ditiap satuan terkecil waktu.
Terasa yakin dan pupuslah ragu.
Terasa menggetarkan hingga sluruh jiwa.
Sel-sel ini cm luruhan dari cintanya.
Cinta abadi. Cinta sejatinya cinta.
Cinta yang tak kenal luka, malah slalu menguatkan.
Cinta yang memberi dan tak pernah minta.
Cinta yang membahagiakan tanpa pernah merugikan.
Cinta yang penuh cinta.
Cinta kekalNYA, hanya DIA.


Salam Pembelajar

Onish Akhsani

Kamis, 06 Desember 2012

Gaya Bicara dan Bahasa Indonesia



Orang paling hebat adalah orang yang bisa mengenal dirinya, memahami, mengendalikan dan memperbaiki kualitas dirinya dari waktu ke waktu.

Saya masih merasa sebagai korban dari sistem pendidikan bahasa yang kurang tepat. Alasan saya, saya berkembang dengan memegang teori bahasa yang saya terima dan menghayatinya, tapi justru saya mendapat masalah berat dengan gaya bahasa saya sendiri.

Saya masih terobsesi untuk bicara dengan sistem yang saya pelajari di sekolah. Saya masih sangat ingat ketika pelajaran bahasa Indonesia, teori penggunaan kalimat penjelas dalam suatu paragraph maupun kalimat yang mengandung double penjelas.

Saya paling jago menyebutkan dan menganalisis bahasa. Saya bisa paham orang bicara dengan bahasa yang bertumpuk, karena saya juga melakukannya. Sayangnya, seringkali, karena terlalu asyik bicara memberi penjelasan pada satu aspek, saya terpeleset untuk memberi penjelasan pada hal lain yang sebenarnya hanya kalimat pendukung. Saya sendiri merasa bahwa saya sering memberikan kalimat penjelas yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan kalimat utama atau topik pembahasan. Oleh karena itu, saya akhir-akhir ini saya sedang mencoba untuk memperbaiki kualitas dan cara bicara saya. Saya belajar menulis kalimat singkat.

Saya tidak perlu membuat kalimat bertumpuk. Sebenarnya saya menyadari gaya bicara saya. Saya relative bicara tentang bagaimana saya bicara dengan tepat. Saya ingat buku bahasa Indonesia saya mengajarkan tentang bagaimana di kalimat terakhir dalam peragraf terdapat kalimat penutup atau kesimpulan. Hal itu membuat saya selalu mencoba membuat kalimat yang menyimpulkan di akhir paragraph.

Saya mungkin tampak menjadi anak yang aneh dengan gaya bahasa saya, tapi sebenarnya saya memang sangat menikmati menjadi diri saya. Hanya saja, terlalu banyak teori perang membuat saya justru tak lincah dalam berperang. Saya ingin memperjelas analogy tersebut, bahwa dengan banyaknya teori yang saya pahami tentang gaya bahasa, justru saya merasa harus sesuai dengan teori dan hal yang telah diajarkan kepada saya sehingga saya menerapkan sistem berbicara bertumpuk yang penuh dengan kalimat penjelas dan relatif panjang dimana hal tersebut membuat kalimat saya sangat panjang dan walaupun tidak salah secara teori, tetapi terlalu panjang dan sulit untuk dipahami.

Barusan saya menggunakan teori berbicara saya ala teori bahasa Indonesia. Anda tidak akan menganggap itu salah karena memang itu benar, tapi tentu tidak enak dirasakan. Hehehe

Intinya, belajar bahaasa Indonesia adalah saling terkait. M

Terimakasih


Salam Pembelajar
Onish Akhsani

Orangtua Idaman



Seklas dari judulnya mungkin orang akan mengira saya akan menulis tentang bagaimana orangtua idaman atau bagaimana tips atau trik menjadi orangtua idaman. Sayangnya, saya belum mau membahas tentang hal itu.

Saya cuma masih ingin menyampaikan tentang bagaimana orangtua merasa dirinya telah menjadi orangtua yang cukup bijak dan menjadi idaman untuk anak-anaknya. Kebanyakan orantua di Indonesia, merasa cara pendekatan mereka kepada anak-anaknya adalah pendekatan yang terbaik. Pengalaman saya men-survei dengan wawancara, kebanyakan orantua merasa menjadi ibu adalah naluri sehingga pasti akan dan selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka.

Benarkah menjadi orangtua idaman adalah naluri bawaan?

Saya membaca buku, mengamati, men-survei dan mencoba menyimpulkan serta menganalisa tentang cara pikir para orangtua. Ternyata kebanyakan mereka merasa “sudah” memberikan yang terbaik untuk anak mereka. Benarkah itu yang dirasakan oleh para anak? Kalau ada survey tentang “guru idaman” dari siswa untuk para guru dan pendidiknya, maka sebaliknya, saat ini anak yang harus ditanya, seperti apa maunya mereka hingga mereka bisa senang, bersemangat, belajar dengan senang dan hebat dalam menghadapi kehidupan.

Orangtua ternyata lebih banyak “merasa paling tau” tentang anaknya dan “merasa lebih paham” masa depan anaknya sehingga jarang bahkan tidak memberi kesempatan untuk anak untuk membuka pikirannya, mengemukakan pendapatnya, dan mengambil keputusan olehnya sendiri untuk masa depannya.

Orangtua seolah berkata “terserah” tapi memaksakan arahnya. Kalau pun sikap itu tidak dilaksanakan oleh si anak, maka orangtua pun akan menganggap anak itu salah,kurangajar, tidak patuh, anak nakal dan banyak istilah negative yang mereka canangkan untuk anak mereka sendiri.

Beranjak dewasa, sia anak pun tanpa sadar membawa sikap yang sama yang dia mainkan di masyarakat. Ketika perbedaan muncul di masyarakat, mereka sudah menganggap perbedaan dari oranglain itu suatu hal yang sesat, salah dan kurang ajar. Istilah yang mereka dapat ketika orangtuanya merespon sikap beda mereka ketika masih kanak-kanak.

Intinya, pribadi seseorang yang memaksakan kehendak, adalah besar pengaruh dari keluarga yang menekan dan memaksakan kehendak dan pendapatan mereka yang paling benar. Sisi keluarga yang lain,ada yang  menerapkan pemujaan terhadap tahapan raja alias memperlakukan sebagai raja/ ratu hingga masa dewasa pun akan membawa mereka ke pribadi yang sesuai kehendak.

Sekali lagi saya garis bawahi bahwa orang tua yang bijak adalah yang tepat bersikap dan merespon anak-anaknya sesuai yang mereka butuhkan.

Saya masih memegang rumus paling jitu dari orang-orang sukses yang membangun mental kuat pada anak di usia tahap 7 tahun pertama dengan memperlakukan anak selayaknya raja, memperlakukan seperti tawanan perang pada masa tahap 7 tahun keduanya dan memperlakukannya sebagai sahabat pada tahapan 7tahun ketiga dan seterusnya.

Tahap pertama, anak akan mengenal dirinya dan citra diri yang positif serta semangat belajar yang bagus. Mereka pada masa itu akan pesat untuk berkembang dan menemukan cara belajarnya yang paling cocok untuk mereka. Mereka pun akan berkembang kepercayaan diri dan hidup tanpa rasa ragu alias mantap dengan keputusannya. Mencintai ilmu pengetahuan dan bisa tau cara belajarnya yang paling cepat dan tepat sehingga mereka bisa belajar dengan cepat hal-hal baru yang mereka butuhkan dalam kehidupannya. Orangtua yang terlalu memaksakan suatu aturan pada tahap usia ini, justru malah akan berakibat negative terhadap perkembangan mentalnya.

Tahap 7 tahun kedua, perlakukan anak seperti tawanan perang. Perlakukan mereka dengan baik, tapi beri mereka pemahaman bahwa kebebasan yang diberikan mengandung konsekuensi dan akibat. Mental yang telah dibangun pada tahap pertama yang membuatnya penuh percaya diri dan semangat belajar yang tinggi, akan lebih membuatnya imbang menyikapi. Dunia yang memiliki aturan main dan keseimbangannya, harus diikuti peran anak untuk untuk menyesuaikan dan memahami harus bagaimana dia bersikap. Perlakuan yang kebablasan dalam menekan, seringkali karena orangtua terlalu banyak merasa tau akan aturan yang ada di dunia lebih dulu ketimbang anak-anak sehingga meremehkan anak-anak dalam memandang dunia. Pastinya, sebagai orangtua pun, tidak suka bila pendapatnya disanggah. Sebenarnya anak-anak tidak ingin mendebat saran dan nasehat orangtua, melainkan keingintahuannya perlu mendapat jawaban yang memuaskan. Sehingga masa tahap kedua ini, tetap peran orangtua adalah mengendalikan dirinya sendiri untuk menahan dari menggurui mereka agar anak-anak dapat terus berkembang kepribadiannya.

Mereka jadi mengetahui bahwa mereka hidup di dunia yang memiliki sistem nilai dan aturan. Dunia ini penuh pelajaran yang menyenangkan tapi juga memiliki aturan untuk dimainkan. Semua bisa bersenang-senang bermain dan belajar dalam kehidupan, tapi harus sadar bahwa ada aturan main yang harus dipegang. Analisa salah benar, baik buruk dan sebab akibat harus harus dipaparkan dan dipahamkan kepada mereka untuk mereka belajar. Mereka akan paham bahwa dunia ternyata punya reward dan punishment dalam kehidupan. Benar-benar hidup adalah permainan dimana didalamnya terdapat aturan dan sistem yang memberi banyak kesempatan dan keleluasaan untuk berperan atau bermain, tapi juga terdapat konsekuensi-konsekuensi. Mental yang penuh percaya diri pun dapat terkendalikan sehingga tidak sampai pada sikap sombong dan angkuh dalam berkehidupan.

Tahap ketiga adalah memperlakukannya sebagai sahabat. Perlakukan ini adalah memberikannya kepercayaan atas citra diri mereka dan mengerti tentang dunia yang mereka hadapi. Masa kematangan yang sebenarnya mereka sudah siap menghadapi keberagamana dunia dan warna dari lika liku dunia. Seringkali orangtua terlalu menikmati proses pada tahap kedua yang menekan dan banyak memberi aturan-aturan sehingga anak justru merasa tertekan atau akibat buruknya adalah menghindari orangtua atau tidak merasa kenyamanan bersama orangtua.

Bila pada tahapan ketiga ini orangtua masih memperlakukan seperti masa pertama, maka bisa jadi dia akan menjadi anak yang suka menang sendiri atau bahkan kaget dengan dunia yang ternyata tidak seperti yang dia inginkan. Anak dengan pola diperlakukan raja yang kebablasan malah memberi mental kurang mandiri atau egois. Bila selama ini tidak diajari kerja keras bahwa dunia memang butuh kerja keras, maka hidupnya penuh ketergantungan dan tidak mudah yakin dengan keputusan yang diambilnya.  Demikian pula jika orangtua memperlakukan seperti pada tahapan kedua yaitu sebagai tawanan, bisa jadi justru merasa tertekan dan memilih untuk menghindar dari perbedaan pendapat dan relatif suka menuntut keinginannya diikuti.

Masa tahap tujuh ketiga ini adalah masa untuk anak dewasa. Mereka sudah tau mana yang baik maupun mana yang buruk. Anak sudah menjadi pribadi yang matang dan siap menghadapi kehidupan dengan segala warna, perbedaan dan liku-likunya.

Semua tahapan saling berkaitan dalam membangun mental, citra diri, pemahaman dan bijaknya mereka dalam menempatkan diri dalam suatu keadaan maupun lingkungan.

Saya tidak pernah bosan untuk menyampaikan ini karena, masa-masa mereka berkembang sangat penting dan berpengaruh pada masa depannya, caranya bersikap dan mengambil keputusan sekaligus mempengaruhi pula cara generasi mereka selanjutnya. Jangan pernah menyepelekan tentang kualitas diri seorang anak. Mereka bisa sangat hebat tapi juga bisa menjadi sangat jahat. Hati-hati memperlakukan mereka. Bisa jadi sikap Anda saat ini terhadap anak atau oranglain adalah penentu arah suatu zaman yang penuh kehebatan, kebaikan dan kebahagiaan atau justru penuh kejahatan dan penderitaan. Semoga kita semua lebih bijak dalam bersikap.



Salam pembelajar

Onish Akhsani


Konsentrasi dan "Pomodoro"



Teringat masa ketika saya masih belajar. Saya seorang anak yang belum menemukan tipe belajar paling tepat untuk diri saya. Saya relative cepat teralihkan fokus saya ke imajinasi dan ide-ide liar. Dalam membuat tulisan pun, arah pembicaraan saya relative cepat meluas. Bahkan saya sering menuliskan dua atau lebih verb alias kata kerja dalam kalimat saya. Ada tumpukan kalimat penjelas yang sering pakai pula. Ini merupakan salah satu gejala mulai meluasnya topik pembicaraan saya.

Saya masih ingat setiap susah fokus, saya selalu  mencoba membuat time jadwal atau list to do. Ternyata itu kurang efektif  untuk saya pribadi kerena yang ada, saya akan berusaha memecah fokus saya untuk menyicil semua pekerjaan dalam satu waktu yang ada. Penyakit fokusnya banyak, itu istilah seorang tentor bisnis saya di Komunitas Mahasiswa Memulai dan Mengembangkan Bisnis. Hehehe

Fokus tentang gaya belajar tadi, akhirnya saya sering mengakali menyediakan waktu belajar yang saya batasi. Biasanya saya akan mencoba balapan dengan waktu atau teman. Cara membatasi dengan waktu adalah cara saya paling jitu untuk membuat saya fokus dan tidak tergoda melakukan hal lain.

Misal, ketika di Sekolah Dasar atau tingkat Menengah Pertama hingga Menengah Umum, saya sering dihadapkan tugas mencatat atau menyalin tulisan di papan untuk dicatat di buku tulis saya. Hal itu sebenarnya hal yang paling tidak saya senangi, menurut saya, akan lebih efektif kalau saya cukup memfotokopinya. Tapi itu adalah cara ibu atau bapak guru mengajar, maka saya laksanakan walau dengan setengah hati.

Mencatat isi papan ke buku adalah masa saya memahami diri saya. Seringkali, saya bicara sendiri dengan pikiran saya yang melayang-layang dan menceritakannya pada teman di sebelah saya. Saya juga heran kenapa saya sangat mudah berimajinasi atau membuat scenario cerita di otak saya. Kadang, ketika ada di kelas, tiba-tiba saya membuat puisi, kadang saya menanyakan sesuatu ke teman di sebelah saya tentang suatu hal, kadang saya tiba-tiba membuat coretan-coretan yang kurang penting alias tidak ada hubungan dengan pelajaran. Kadang saya tiba-tiba ingat apa yang harus saya lakukan setelah pulang sekolah dan membuat list to do. Parahnya ketka SMU, saya sudah punya hp, maka pikiran saya semakin kemana-mana dan mengontak siapa saja yang bisa diceritain atau ditanyain sesuatu topik yang saat detik itu terngiang-ngiang di pikiran saya. Hmmmh…

Akhirnya, untuk menangani masalah susah fokus untuk mencatat, saya biasanya mengakali untuk balapan dengan teman saya. Saya sering bilang ke teman sebelah saya untuk berlomba cepat dalam mencatat. Kalau sedang sangat bersemangat, sekretaris yang juru tulis atau bu guru yang sedang mencatat di papan tentu belum selesai mencatat, saya sudah mengikuti huruf demi huruf untuk saya catat di buku. Hahahaha namanya juga balapan, jadi harus cepat. Hihihi

Manfaatnya setelah saya balapan dengan waktu tadi, hampir semua tugas mencatat terselesaikan dengan baik. Saya punya catatan yang lengkap dan bila buku catatan dikumpulkan untuk dicek oleh bu guru, saya sudah menyelesaikannya dengan baik. Sayangnya, kebiasaan itu tidak selalu dapat saya lakukan karena keterbatasan jumlah teman yang mau diajak balapan nyatat. Tidak ada partner dengan cara belajar saya. Alhasil, saya adalah salah satu siswa perempuan yang paling tidak punya catatan.

Saya merasa mencatat adalah pekerjaan yang paling membosankan. Bayangkan, kita harus fokus menulis dan mencontoh tulisan di papan. Tapi kalau boleh berpositif thinking kepada metode mengajar bu guru, mungkin beliau-beliau ingin kami para siswa membacanya, karena kami pasti membacanya ketika menulis.
Tapi saya kurang setuju. Tetap saja, semua anak memiliki cara belajar yang beragam. Bila dengan menulis atau memindahkan ke buku, bisa jadi hanya menulis tapi tidak memahami. Pikiran saya misalkan, saya bisa menulis sambil berbicara topik lain yang tidak nyambung dengan catatan.

Setelah saya beranjak dewasa, saya merasa menemukan hal baru dalam hidup saya. Saya mulai mencintai proses belajar saya. Saya berusaha “knowing my self” alias memahami diri saya sendiri. Saya jadi mengerti betapa saya punya cara belajar dan kemampuan-kemampuann yang berbeda dengan yang lain. Saya pun menerima ketika teman-teman bilang saya “aneh”. Iya, saya memang sedikit aneh karena saya tidak mau berfikir seperti cara mereka berfikir.

Saya paham cara mereka berfikir, tapi saya menolak untuk sama dengan cara mereka. Saya suka berimajinasi kreatif, saya senang berdiskusi yang serius dan fokus ke solusi. Saya tidak suka berjelimet-jelimet lama dengan masalah. Saya memiliki bahasa narasi yang bertumpuk kalimat penjelas seperti dongeng. Saya memiliki tumpukan ide yang meluap-luap dan memiliki cara berfikir yang gak standart. Saya bilang, saya “beda”. Saya yakin semua anak memang unik dan beda satu sama lain. Intinya, semua anak punya cara yang berbeda untuk belajar dan menyikapi kehidupan.

Oke, kembali tentang gaya belajar.  Setelah menikah dan tinggal di Australia, suami saya menunjukkan suatu program di android untuk memanajemen waktu fokus. Kami pun menggunakannya sebagai kawan bekerja. Nama program itu adalah “Pomodoro”. Fungsi dari alat itu adalah untuk mengendalikan aktivitas kita agar fokus dalam beberapa saat yang kita tetapkan untuk mengerjakan suatu aktivitas dengan me-remove semua gangguan yang mungkin datang.

Program di-instal dan segera saya bisa men-setting waktu saya dalam 1 tahapan dan berapa lama tingkat konsentrasi maksimal saya ketika bekerja dan berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan bekerja.

Sumber gambar: www.sandglaz.com

Setelah setingan selesai, saya siap memanfaatkannya untuk bekerja. Prinsip kerjanya seperti jam walker/ stopwatch untuk mengukur waktu. 1 tahapan kerja dan istirahat tadi adalah hitungan 1 pomodoro. Saya men-setting 25menit bekerja dan 5 menit beristirahat. Saya mulai dengan tombol “start” dan saya pun mulai bekerja/ mengerjakan sesuatu.

Misal, saya akan mencuci piring, saya seting saya butuh waktu 1 pomodoro. Sesuai setingan 1 pomodoro saya, maka setelah 25 menit saya harus sudah selesai atau menghentikan pekerjaan saya dan beristirahat selama 5 menit.

Intinya, ketika alarm time break berbunyi, maka saya harus mencoba menghentikan. Tetapi ketika saya asyik bergulat dengan ide atau menulis beberapa tulisan, maka biasanya saya langsung me-skip alarm time to break-nya. Saya bisa bilang, kalau saya menulis ide atau suatu bahan untuk blog saya, saya membutuhkan hampir 2 pomodoro saya.

Kebiasaan bekerja dengan pomodoro ini masih sangat baru bagi saya dan suami, tapi itu adalah metode smart bin brilian binti cerdas banget untuk mengatasi nafsu fokus ke banyak hal dalam waktu yang sama.
Manfaatnya adalah saya berhasil menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan sesuai target, saya bisa mengatur waktu sehingga seimbang kapan saya harus belajar, olahraga, menulis, mengontak teman, bersilahturahim dengan keluarga atau tetangga, mengurus urusan rumah, hingga bermesraan dengan suami dan kegiatan-kegiatan beribadah rutin. Semua menjadi lebih seimbang. Saya pun tidak perlu repot lagi takut dengan gilanya imajinasi saya karena bila mulai ada ide gila di otak saya, maka saya tinggal menyediakan waktu 1-2 pomodoro untuk menuliskannya. Pekerjaan-pekerjaan dan list to do pun terlaksana dengan baik hampir di semua aspek. Kualitas waktu dan hidup saya pun menjadi lebih baik dan tertata maksimal.

Saya bisa mengisi waktu saya dengan penuh produktivitas dan terukur. Saya punya banyak kesempatan untuk meng-edit hasil kerjasaya yang cepat dan fokus sehingga saya memiliki waktu yang lebih panjang untuk memperbaiki atau menyempurnakannnya. Saya pun tidak perlu khawatir ketika saya ada permintaan atau undangan, saya sudah harus mohon diri bila alarm saya telah berbunyi sehingga saya bisa lebih tegas dengan waktu saya dalam bersosialisasi menggingat selama ini, saya termasuk orang yang selalu rela hak untuk diri saya diambil orang lain, termasuk tentang waktu yang seringnya waktu saya habis untuk oranglain dengan manfaat yang sebenarnya tidak ada.

Saya juga memanfaatkan pomodoro untuk mengelola waktu belajar dan fokus konsentrasi saya dengan maksimal. Metode belajar saya yang perlu difokuskan ini sangat terbantu dengan adanya alat yang selalu sabar me-remind me saya selalu ini. Metode ini sederhana tapi sangat manfaat untuk saya. Moga bisa bermanfaat juga untuk teman yang tertarik untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari program android gratisan ini. Mungkin setelah ini saya akan meng-uploud link-link dan info terkait tentang “pomodoro” sehingga bisa lebih jelas dan berguna untuk siapapun juga.

Tak ada salahnya untuk belajar dari kesalahan dan terus berusaha membaikkan kualitas diri dari hari ke hari. Semua proses, kesempatan, dan keadaan di sekitar adalah wadah dan sarana belajar menjadi diri yang lebih baik. Moga semua alat dan media teknologi yang berkembang bukan menjadi godaan atau masalah yang mengganggu untuk kita, melainkan menjadi sarana yang mendukung dalam berproduktif aktif, meningkatkan kualitas diri, memaksimalkan peran dan mengoptimalkan waktu yang singkat agat lebih manfaat.

Salam Pembelajar

Onish Akhsani